Jumat, 01 Mei 2015

Sebuah Rangkuman : Kemana Perginya Para Tukang?


Teks asli : Mahatmanto

Saat ini banyak arsitek dengan pembagian kerja dalam produksi arsitektur sibuk dengan perancangan ruang-bentuk yang indah tetapi kurang mengindahkan bagaimana rancangan itu sendiri harus ditegakkan di muka tanah. Maclaine Pont bekerja pada awal abad ke-20 ketika pemisahan kerja antara perancangan dan pelaksanaannya belum terlaksana setajaam sekarang. Maclaine Pont berada dalam tradisi arsitek sebagai perancang dan pemimpin pekerjaan pembangunan di lapangan.

Sebagai anak zamannyaa, Maclaine Pont termasuk golongan yang ingin mengenal dan memulihkan keunggulan tradisi ketukangan pribumi yang pernah gemilang. Bagi Maclaine Pont pemulihan tradisi ketukangan itu lebih penting daripada memakai langgam arsitektur adat di Nusantara untuk kepentingan baru. Dia percaya bahwa pemulihan tersebut akan meningkatkan harga diri mereka. Dari beberapa karya bangunan rancangan yang masih berdiri hingga kini, semuanya memiliki catatan mengenai perlunya memajukan kembali keterampilan dan pengetahuan para tukang pribumi maupun organisasi kerjanya.

Sekilas Macline Pont

Henri Macline Pont adalah seorang arsitek kelahiran Jatinegara (1895). Ia merupakan lulusan Universitas Delft. Ketika menjalani profesinya di Jawa, ia mengawali karyanya pada bangunan Kntor Pusat SCS di Tegal. Pada artikelnya Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw (NION) edisi keempat tahun 1916-1917, dapat diketahui apa yang dipikirkannya mengenai karya rancangannya. Dalam artikelnya, Maclaine Pont menempatkan uraiannya tentang rancangannya dalam bingkai interaksi Timur-Barat dan kualitas Tropikal. “Bouwen in de Tropen!” begitu kalimat pembuka di artikelnya. Baginya, kantor pusat dari sebuah perusahaan besar Eropa haruslah membawakan karakter Eropanya di Hindia.


Bangunan yang yang dirancangnya berbentuk memanjang dan berada di tengah kota, tetapi terletak di bagian tersendiri dari pusat kota, yang kelak akan bertetangga dengan stasiun di sebelah timurnya dan hotel serta societeit di sebelah selatan. Bangunan Kantor Pusat SCA itu diletakkan membujur searah perjalanan matahari sehingga kedua sisi panjangnya mendapat hembusan angin laut dari utara yang sejuk serta angin pegunungan dari selatan yang segar. Seluruh bagunan menghadap ke selatan, ke arah pelataran luas yang direncanakan sebagai pelataran bersama dengan stasiun kereta api yang waktu itu belum dibangun (kelak diresmikan pada 1 Mei 1918). Pelatarannya sendiri disarankan oleh Maclaine Pont ditanam dua pohon beringin.

Dalam artikelnya selain mendeskripsikan jenis, asal, dan mutu bahan-bahan yang dipergunakan, ia juga membicarakan kemampuan para tukangnya. Disini tampaklah keinginannya agar para pembaca artikelnya tahu bahwa ia menggunaakan banyak bahan bangunan setempat untuk bagunan yang ia rancang. Ia juga mengatakan bahwa mutu bata yang buruk membuatnya memutuskan untuk memplester dindingnya. Sebaliknya ia memuji kemampuan tukang Jawa yang hebat dalam mengukir batu dan kayu.

Bangunan ini sekarang dimiliki PT Kereta Api Indonesia (KAI), dan sedang dipergunakan Universitas Panca Sakti. Membandingkan gambar-gambar yang menyertai artikel tersebut dengan keadaan yang sekarang, bangunan ini masih lumayan utuh meski ada juga perubahan di sana-sini. Misalnya pemagaran arkade.



Lebih dekat lagi, bangunan ini mengoalah detailing dengan baik, mulai dari detail ukuran bayu pada kapitel kolom beton, konsol dan kolom kayu, hingga detail talang. Semuanya memperlihatkan dekatnya relasi arsitek dengan para tukangnya. Mutu pekerjaan tersebut bisa dicapai karena adanya hubungan yang akrab antara tukang dan perancangnya.

Di akhir artikelnya ia mengutip komentar seorang tukang kayu terbaiknya saat tukang tersebut diperlihatkan maket bangunan: “Kalau orang Blanda kasih atoeran dan oekuran, orang Jawa bisah bikin.” Dari kutipan  itu tampak bahwa Maclaine Pont sangatlah menghargai kemampuan para tukang Jawa dan ada nada optimisme untuk melakukan kerja sama dengan mereka. Dalam artikel, Maclaine Pont berpendapat: “pribumi harus dibantu untuk menghargai warisan dan sejarahnya sendiri. Kita (Orang Belanda) perlu membimbing mereka.”

Arsitektur Jawa, Gotik dan Modern

Kompleks bangunan karya Maclaine Pont yang paling populer ditata dengan inspirasi dari penataan kompleks bangunan keraton Jawa pedalaman: massa bangunan tersebar dengan jalur-jalur sirkulasi selasar sebagai penghubung. Maclaine Pont menerangkan bahwa strategi ini dipilih untuk memberi feksibilitas bila hendak ditambahkan massa bangunan baru atau bila bangunan lama ingin dirubah dimensinya. Dia menerapkan rancangan ini untuk Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. 


Penataan lahan untuk kompleks Sekolah Tinggi Teknik ini berkal-kali dilakukan dan ada beberapa gambar alternatif yang terdokumentasikan. Yang tetap adalah sumbu utara dan selatan, berikut pohon beringin yang berada di tengah yang digunakan untuk koordinasi. Bedanya, sumbu ini terasa bebas dari halangan massa bagunan karena perbedaan tinggi lahan. Massa bangunan yang tersisa kini memang berupa gugusan dengan massa induk di tengah serta massa-massa kecil di pinggirannya.


Menurut pandangan Maclaine Pont tentang arsitektur Jawa, dinding Arsitektur Jawa adalah wand (tabir), bukan muur (tembok, benteng). Memahami tabir sebagai dinding mengingatkan kita pada Arsitektur Gotik yang dengan dinding dan jendela kaca patrinya menghadirkan suatu ruang diafan, remang-remang, seperti menembus kabut, yang juga bisa kita rasakan ketika berada di dalem Rumah Jawa. Pada keduanyaa, Arsitektur Gotik dan Jawa, keterampilan tukang dalam menyelesaikan detailing dipamerkan. Di sini arsitektur sekaligus struktur sehingga segenap riwayat bagunan ini terbangun dari rangkaian bahan-bahan yang jujur terbuka bagi siapa saja tanpa ditutup-tutupi.

Adakalanya sebuah karya arsitektur akan rusak termakan waktu atau cuaca. Begitupun karya-karya perancangan Maclaine Pont, sayangnya tradisi ketukangan setempat pada waktu itu tidak selalu siap untuk memperbaikinya seperti rancangan semula. Akibatnya, proses merawat bagunan ini tidak berkesinambungan.

Agaknya ini menjadi sebuah tragedi untuk Maclaine Pont yang selama bekarya ingin benar memajukan keterampilan tukang pribumi, tetapi diakhir karyanya para tukang pribumi tidak beranjak dari tradisi ketukangannya semula.


Siapa lagi arstitek masa kini yang masih perduli pada tradisi ketukangan?

0 komentar:

Posting Komentar

 
;