Teks asli : Mahatmanto
Saat ini banyak arsitek dengan
pembagian kerja dalam produksi arsitektur sibuk dengan perancangan ruang-bentuk
yang indah tetapi kurang mengindahkan bagaimana rancangan itu sendiri harus
ditegakkan di muka tanah. Maclaine Pont bekerja pada awal abad ke-20 ketika
pemisahan kerja antara perancangan dan pelaksanaannya belum terlaksana setajaam
sekarang. Maclaine Pont berada dalam tradisi arsitek sebagai perancang dan
pemimpin pekerjaan pembangunan di lapangan.
Sebagai anak zamannyaa, Maclaine
Pont termasuk golongan yang ingin mengenal dan memulihkan keunggulan tradisi
ketukangan pribumi yang pernah gemilang. Bagi Maclaine Pont pemulihan tradisi
ketukangan itu lebih penting daripada memakai langgam arsitektur adat di
Nusantara untuk kepentingan baru. Dia percaya bahwa pemulihan tersebut akan
meningkatkan harga diri mereka. Dari beberapa karya bangunan rancangan yang
masih berdiri hingga kini, semuanya memiliki catatan mengenai perlunya
memajukan kembali keterampilan dan pengetahuan para tukang pribumi maupun
organisasi kerjanya.
Sekilas Macline Pont
Henri Macline Pont adalah seorang
arsitek kelahiran Jatinegara (1895). Ia merupakan lulusan Universitas Delft.
Ketika menjalani profesinya di Jawa, ia mengawali karyanya pada bangunan Kntor
Pusat SCS di Tegal. Pada artikelnya Nederlandsch-Indie
Oud en Nieuw (NION) edisi keempat tahun 1916-1917, dapat diketahui apa yang
dipikirkannya mengenai karya rancangannya. Dalam artikelnya, Maclaine Pont
menempatkan uraiannya tentang rancangannya dalam bingkai interaksi Timur-Barat
dan kualitas Tropikal. “Bouwen in de
Tropen!” begitu kalimat pembuka di artikelnya. Baginya, kantor pusat dari
sebuah perusahaan besar Eropa haruslah membawakan karakter Eropanya di Hindia.
Bangunan yang yang dirancangnya
berbentuk memanjang dan berada di tengah kota, tetapi terletak di bagian
tersendiri dari pusat kota, yang kelak akan bertetangga dengan stasiun di
sebelah timurnya dan hotel serta societeit
di sebelah selatan. Bangunan Kantor Pusat SCA itu diletakkan membujur searah
perjalanan matahari sehingga kedua sisi panjangnya mendapat hembusan angin laut
dari utara yang sejuk serta angin pegunungan dari selatan yang segar. Seluruh
bagunan menghadap ke selatan, ke arah pelataran luas yang direncanakan sebagai
pelataran bersama dengan stasiun kereta api yang waktu itu belum dibangun
(kelak diresmikan pada 1 Mei 1918). Pelatarannya sendiri disarankan oleh
Maclaine Pont ditanam dua pohon beringin.
Dalam artikelnya selain
mendeskripsikan jenis, asal, dan mutu bahan-bahan yang dipergunakan, ia juga
membicarakan kemampuan para tukangnya. Disini tampaklah keinginannya agar para
pembaca artikelnya tahu bahwa ia menggunaakan banyak bahan bangunan setempat
untuk bagunan yang ia rancang. Ia juga mengatakan bahwa mutu bata yang buruk
membuatnya memutuskan untuk memplester dindingnya. Sebaliknya ia memuji
kemampuan tukang Jawa yang hebat dalam mengukir batu dan kayu.
Bangunan ini sekarang dimiliki PT
Kereta Api Indonesia (KAI), dan sedang dipergunakan Universitas Panca Sakti.
Membandingkan gambar-gambar yang menyertai artikel tersebut dengan keadaan yang
sekarang, bangunan ini masih lumayan utuh meski ada juga perubahan di
sana-sini. Misalnya pemagaran arkade.
Lebih dekat lagi, bangunan ini
mengoalah detailing dengan baik,
mulai dari detail ukuran bayu pada kapitel kolom beton, konsol dan kolom kayu,
hingga detail talang. Semuanya memperlihatkan dekatnya relasi arsitek dengan
para tukangnya. Mutu pekerjaan tersebut bisa dicapai karena adanya hubungan
yang akrab antara tukang dan perancangnya.
Di akhir artikelnya ia mengutip
komentar seorang tukang kayu terbaiknya saat tukang tersebut diperlihatkan
maket bangunan: “Kalau orang Blanda kasih
atoeran dan oekuran, orang Jawa bisah bikin.” Dari kutipan itu tampak bahwa Maclaine Pont sangatlah
menghargai kemampuan para tukang Jawa dan ada nada optimisme untuk melakukan
kerja sama dengan mereka. Dalam artikel, Maclaine Pont berpendapat: “pribumi harus dibantu untuk menghargai
warisan dan sejarahnya sendiri. Kita (Orang Belanda) perlu membimbing mereka.”
Arsitektur Jawa, Gotik dan Modern
Kompleks bangunan karya Maclaine
Pont yang paling populer ditata dengan inspirasi dari penataan kompleks
bangunan keraton Jawa pedalaman: massa bangunan tersebar dengan jalur-jalur
sirkulasi selasar sebagai penghubung. Maclaine Pont menerangkan bahwa strategi
ini dipilih untuk memberi feksibilitas bila hendak ditambahkan massa bangunan
baru atau bila bangunan lama ingin dirubah dimensinya. Dia menerapkan rancangan
ini untuk Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Penataan lahan untuk kompleks
Sekolah Tinggi Teknik ini berkal-kali dilakukan dan ada beberapa gambar
alternatif yang terdokumentasikan. Yang tetap adalah sumbu utara dan selatan,
berikut pohon beringin yang berada di tengah yang digunakan untuk koordinasi.
Bedanya, sumbu ini terasa bebas dari halangan massa bagunan karena perbedaan
tinggi lahan. Massa bangunan yang tersisa kini memang berupa gugusan dengan
massa induk di tengah serta massa-massa kecil di pinggirannya.
Menurut pandangan Maclaine Pont
tentang arsitektur Jawa, dinding Arsitektur Jawa adalah wand (tabir), bukan muur
(tembok, benteng). Memahami tabir sebagai dinding mengingatkan kita pada
Arsitektur Gotik yang dengan dinding dan jendela kaca patrinya menghadirkan
suatu ruang diafan, remang-remang,
seperti menembus kabut, yang juga bisa kita rasakan ketika berada di dalem Rumah Jawa. Pada keduanyaa,
Arsitektur Gotik dan Jawa, keterampilan tukang dalam menyelesaikan detailing dipamerkan. Di sini arsitektur
sekaligus struktur sehingga segenap riwayat bagunan ini terbangun dari
rangkaian bahan-bahan yang jujur terbuka bagi siapa saja tanpa ditutup-tutupi.
Adakalanya sebuah karya
arsitektur akan rusak termakan waktu atau cuaca. Begitupun karya-karya
perancangan Maclaine Pont, sayangnya tradisi ketukangan setempat pada waktu itu
tidak selalu siap untuk memperbaikinya seperti rancangan semula. Akibatnya,
proses merawat bagunan ini tidak berkesinambungan.
Agaknya ini menjadi sebuah
tragedi untuk Maclaine Pont yang selama bekarya ingin benar memajukan
keterampilan tukang pribumi, tetapi diakhir karyanya para tukang pribumi tidak
beranjak dari tradisi ketukangannya semula.
Siapa lagi arstitek masa kini
yang masih perduli pada tradisi ketukangan?